Oleh I Wayan Mudra
Kehidupan para perajin di Bali selama ini sering dipandang sebagai kelompok masyarakat berpengasilan rendah. Nampaknya sebutan tersebut selalu melekat pada diri seorang yang menamakan diri perajin apapun bidangnya. Mungkin citra ini tidak sepenuhnya benar kalau kita jeli melihat fakta dilapangan. Sekarang ini tidak sedikit seorang yang disebut perajin menunjukkan kehidupan yang cukup baik dilihat dari kepemilikan materi dan gaya hidup mereka. Suatu fenomena kontradiktif tetapi nyata. Seanalog dengan hal tersebut citra wanita Bali dimata orang luar Bali terutama mereka yang belum pernah ke Bali sering sangat negatif. Dalam beberapa kali perjalanan penulis dari Denpasar ke Bandung penulis pernah mendapat pernyataan yang menyebutkan bahwa orang Bali yang mencari nafkah untuk keluarga itu adalah istri atau kaum wanitanya sedangkan kaum laki atau suami pekerjaannya hanya adu ayam. Citra ini nampaknya sudah menjadi pengetahuan umum bagi mereka yang belum pernah ke Bali. Karena secara kuantitas pertanyaan atau pernyataan seperti ini sangat sering penulis dapatkan selama di luar Bali. Pernyataan-pernyataan negatif tentang orang Bali ini sering menjadi renungan penulis sebagai orang Bali, “Apakah benar semua ini?”
Kalau kita melihat keuletan kaum wanita Bali dalam pekerjaan dan agama mungkin sulit dicari tandingannya. Hal ini bukan berarti peran wanita Bali dalam menjadi paling utama dalam kehidupan keluarga sehari-hari, karena masih ada kaum suami yang paling bertanggung jawab terhadap jalannya kehidupan suatu keluarga. Kehidupan seorang suami pada masyarakat Bali dengan sistem patrilinialnya ditempatkan pada strata yang lebih tinggi dalam kehidupan keluarga. Hal ini terungkap pada “weda smerti” seperti berikut ini “…walaupun seorang suami kurang kebajikan, mencari kesenangan di luar, tidak mempunyai sifat-sifat baik namun seorang suami tetap harus dihormati sebagai dewa oleh istri yang setia …..” (Arsana, 1990: 53).
Dari kutipan diatas bukan berarti sang suami dengan seenaknya memperlakukan istrinya. Kedudukan seorang ayah dalam rumah tangga adalah selaku pelindung bagi kelangsungan kehidupan keluarganya. Dengan istilah lain disebutkan sebagai akasa. Secara simbolik akasa yang sejajar artinya dengan angkasa dikonsepsikan pada posisi di atas sedangkan ibu (wanita) dikonsepsikan sebagai pertiwi (tanah) berada pada posisi sebaliknya. (Arsana, 1990: 51).
Dari gambaran di atas menunjukkan bahwa kaum suami pada keluarga Bali sangat bertanggung jawab terhadap kebutuhan jasmani dan rohani sesuai dengan konsep hidup orang Bali yaitu Tri Hita Karana. Walaupun tanggung jawab keluarga ada pada pundak suami wanita Bali bukan berarti menunggu di rumah hanya mengurus anak dan suami, tetapi lebih dari pada itu wanita Bali ikut memikirkan kesejahtraan keluarga. Hal ini dilakukan dengan cara bekerja baik pada sektor formal maupun informal.
Melihat peran wanita Bali dalam menunjang pembangunan dalam berbagai sektor non formal sangat komplek maka kami mengkaji peran serta wanita Bali dalam kasus pengembangan kerajinan gerabah. Survey pendahuluan menunjukkan peran serta wanita dalam mengembangkan kerajinan gerabah tersebut cukup dominan. Kelompok perajin telah beberapa kali mendapat binaan dari pemerintah daerah dan BPPT Seni Keramik dan Porselin Denpasar. Hasilnya secara fisik terlihat adanya perkembangan dalam desain maupun jumlah produk, ruang kerja tertata lebih baik dengan membentuk kelompok perajin gerabah.
Peran Serta Wanita Dalam Mengembangkan Kerajinan Gerabah Di Bali selengkapnya